Anggota DPR Kritik Menaker soal Aturan JHT Baru Bisa Cair Saat Usia 56 Tahun

Anggota DPR Kritik Menaker soal Aturan JHT Baru Bisa Cair Saat Usia 56 Tahun

Nasional

Menaker Ida Fauziyah. Foto: Dok. Kemenaker

Anggota Komisi IX DPR mengkritik Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah karena mengeluarkan aturan terkait Jaminan Hari Tua (JHT) yang sebelumnya tak pernah dibahas di komisi yang juga menangani isu tenaga kerja tersebut.

Saleh Partaonan Daulay, Ketua Fraksi PAN yang juga Anggota Komisi IX DPR RI mengatakan, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 itu tak pernah dibicarakan dalam rapat kerja dengan Menaker maupun BPJS Ketenagakerjaan atau BPJamsostek. Padahal, keduanya adalah mitra kerja dari Komisi IX.

“Mestinya, rencana terkait penetapan kebijakan ini sudah di-sounding dulu ke DPR. Mulai dari payung hukumnya, manfaatnya bagi pekerja, sampai pada keberlangsungan program JHT ke depan. Dengan begitu, kalau ditanya, kita juga bisa menjelaskan,” ujar Saleh kepada kumparan, Sabtu (12/2).

Dia melanjutkan, pemerintah harus memastikan bahwa aturan yang dikeluarkan tak akan merugikan masyarakat, dalam hal ini pekerja. Menurut Saleh, saat ini pihaknya banyak mendapat laporan penolakan beleid tersebut.

Selain itu, jika alasan pemerintah mengulur waktu pencairan JHT karena ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), kata dia, hal ini harus dibicarakan lebih lanjut. Sebab menurutnya, payung hukum JKP adalah UU Cipta Kerja yang saat ini dinilai inkonstitusional bersyarat oleh MK.

“Kalau pun misalnya JKP sudah boleh diberlakukan, lalu mengapa JHT harus 56 tahun? Apa tidak boleh misalnya diambil berdasarkan situasi dan kondisi pekerja? Katakanlah, misalnya, karena kondisi pekerja yang sangat sulit, lalu dibolehkan dapat JKP dan JHT? Atau banyak opsi lain yang dimungkinkan,” jelasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR Fraksi PKS Netty Prasetiyani Aher, meminta pemerintah agar mengkaji ulang atau bahkan mencabut peraturan tersebut. Apalagi, peraturan itu menuai reaksi seperti adanya petisi penolakan dari kalangan pekerja.

“Muatan Permenaker tersebut mencederai rasa kemanusiaan dan mengabaikan kondisi pekerja yang tertekan dalam situasi pandemi,” kata Netty.

Dia menganggap ada beberapa pasal dalam Permenaker yang muatannya menunjukkan ketidakpekaan pemerintah pada situasi pandemi, yang membuat pekerja terkena PHK.

“Misalnya, aturan mengenai penerimaan manfaat Jaminan Hari Tua yang baru diberikan kepada peserta setelah berusia 56 tahun. Bayangkan, seorang peserta harus menunggu 15 tahun untuk mencairkan JHT-nya jika ia berhenti di usia 41 tahun. Ini tidak masuk akal,” ujar Netty.

Menurut Netty, aturan tersebut berlaku pada peserta yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri, terkena PHK atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan per Desember 2021, total klaim peserta yang berhenti bekerja karena pensiun hanya 3 persen. Sedangkan pengunduran diri 55 persen, dan alasan terkena PHK mencapai 35 persen.

“Berhenti bekerja karena PHK tentu bukan keinginan pekerja. Berhenti karena pengunduran diri pun bisa karena situasi di tempat kerja yang sudah tidak nyaman. Jadi, mengapa JHT yang sebagiannya merupakan tabungan peserta ditahan pencairannya?” ungkap Netty.

“Bukankah dana yang tidak seberapa tersebut justru dibutuhkan mereka untuk bertahan hidup di masa sulit ini. Jika harus menunggu sampai usia 56 tahun, bagaimana keberlangsungan pendapatan pekerja?,” tambahnya.

Selanjutnya, Netty meminta pemerintah agar memperbaiki tata kelola komunikasi publiknya terkait penerapan aturan. “Pemerintah harus dapat membuka ruang dialog dan mendengarkan aspirasi masyarakat dengan baik. Lakukan sosialisasi dan edukasi secara utuh jika menyangkut regulasi yang pasti akan menyentuh berbagai ruang kehidupan masyarakat secara luas,” tutur Netty.