Kemlu: Pendelegasian FIR ke Singapura Terbatas, Semata-mata Aspek Keselamatan

Kemlu: Pendelegasian FIR ke Singapura Terbatas, Semata-mata Aspek Keselamatan

Nasional

Denah FIR sesudah perjanjian penyesuaian antara RI & Singapura Foto: AirNav Indonesia

Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Abdul Kadir Jailani, menegaskan bahwa perjanjian penyesuaian pelayanan ruang udara atau Fight Information Region (FIR) Realignment Jakarta – Singapura mengembalikan 249.575 Km persegi ruang udara yang selama ini masuk dalam pengelolaan Negeri Singa ke Indonesia.

“Ini sebuah kemajuan bagi Indonesia,” kata Abdul Kadir Jailani pada Chief Editor Briefing ‘Penataan Flight Information Region (FIR)’ yang diselenggarakan secara daring oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jumat (4/2).

Dalam kesempatan tersebut, Abdul Kadir mengungkapkan terkait tetap adanya pendelegasian FIR kepada Singapura. Sebab, kata dia, perjanjian kedua negara terkait FIR itu tidak hanya dilihat sebagai persoalan kedaulatan, tapi lebih pada aspek keselamatan penerbangan.

“Pendelegasian memang terjadi namun hal itu dilakukan secara terbatas. Hal ini dilakukan semata-mata atas pertimbangan teknis operasional terutama aspek keselamatan,” kata dia.

Dia mengatakan, Konvensi Chicago 1944 tentang daulat atas ruang udara, Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, secara tegas menyatakan negara-negara diharapkan dalam menetapkan FIR lebih menekankan aspek teknis dan operasional penerbangan dari pada mengikuti batas wilayah suatu negara.

“Di sini jelas bahwa standar yang diterapkan adalah aspek keselamatan. Ini satu hal yang objektif,” ujar Abdul Kadir.

Abdul Kadir menyebut, pengelolaan dan pendelegasian FIR bukan hanya terjadi pada Indonesia dan Singapura. Ada 55 negara yang mendelegasikan pengelolaan FIR di wilayahnya kepada negara lain.

Sebelumnya, pada Selasa (25/1) di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, terjadi kesepakatan FIR Realignment yang ditandatangani masing-masing Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi dan Menteri Transportasi Singapura S Iswaran.

Penandatanganan itu disaksikan oleh kepala kedua negara, Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

FIR Realignment itu membahas pengelolaan ruang udara yang mencakup Kepulauan Riau, Tanjung Pinang, Serawak, dan Semenanjung Malaya. Kesepakatan itu pun kemudian disampaikan kepada organisasi penerbangan sipil internasional (ICAO) untuk disahkan.

Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kemlu RI, Abdul Kadir Jailani. Foto: Dok. Kementerian Luar Negeri

Dalam kesepakatan tersebut, Singapura juga mengakui penerapan prinsip negara kepulauan dalam penentuan batas wilayah negara dan yurisdiksi Indonesia di perairan serta ruang udara di kepulauan Riau dan Bintan.

Setidaknya ada beberapa poin kesepakatan. Pertama, FIR melingkupi seluruh wilayah teritorial Indonesia, termasuk Kepulauan Riau dan Natuna. Kedua, Indonesia bertanggung jawab pada penyediaan penerbangan di wilayah informasi FIR Indonesia sesuai dengan batas-batas laut teritorial.

Indonesia akan bekerja sama dengan Singapura dalam pemberian penyediaan jasa penerbangan (PJP) sebagian FIR Indonesia yang berbatasan dengan Singapura.

Ketiga, pemerintah Singapura menyepakati pembentukan kerangka kerja sama sipil dan militer untuk manajemen lalu lintas penerbangan (Civil Military in ATC-CMAC). Kondisi itu tentu memastikan terbukanya jalur komunikasi aktif yang menjamin tidak ada pelanggaran kedaulatan dan hak berdaulat.

Keempat, Singapura wajib menyetorkan kutipan biaya jasa pelayanan jasa penerbangan yang diberikan pesawat yang terbang, dari dan menuju Singapura kepada Indonesia. Pendelegasian PJP dievaluasi ketat oleh Kementerian Perhubungan.

Kelima, Indonesia berhak mengevaluasi operasional pelayanan navigasi penerbangan yang dilakukan Singapura demi memastikan kepatuhan pelaksanaan ketentuan ICAO.

Calon Rektor Unpad, Atip Latipulhayat, dalam konferenai pers di Menteng, Kamis (16/5). Foto: Muhammad Darisman/kumparan

Namun belakangan, kesepakatan ini banyak menuai kritik. Salah satunya adalah dari Guru Besar Fakultas Hukum Unpad Sekaligus Ketua Indonesia Center of Aid and Space Law (ICASL), Atip Latipulhayat.

Dia mengatakan, Indonesia membuat kekeliruan ketika mendelegasikan wilayah FIR ke Singapura. “Kekeliruan yang dilakukan dalam take over FIR Singapura adalah melepaskan aspek kedaulatan sebagai basis dasar,” kata Atip dalam webinar virtual Kupas Tuntas FIR Singapura, Kamis (3/2).

Atip menyayangkan kesepakatan tetap memberikan otoritas pelayanan penerbangan kepada Singapura di ruang udara Kepulauan Riau dekat wilayah sekitar Bandara Changi 0 sampai 37 ribu kaki.

“Mengapa hasilnya seperti ini? catatan saya, Singapura bernegosiasi dengan ideologi keselamatan, Indonesia bernegosiasi tanpa ideologi bahkan ikut kepada ideologi Singapura,” jelas Atip.

Senada, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyatakan masalah besar yang saat ini bergulir mengenai FIR adalah masalah trust (kepercayaan) dalam pengelolaan.

Menurut dia, ada kemungkinan Singapura kurang mempercayai Indonesia dalam memberikan layanan navigasi penerbangan di sana.

“Masalah besar itu adalah masalah trust atas pengelolaan FIR. Pertanyaannya, bagi Singapura apakah AirNav Indonesia itu mampu mengelola FIR di atas Kepri, sehingga terjamin keselamatan dan tetap menjadikan [Bandara] Changi Hub?” ucap Hikmahanto.

Leave a Reply