Kenapa Saya (Kita) Sebal dengan Anak Orang Kaya yang Sukses di Usia Muda?

Nasional

Ilustrasi. Foto: Unsplash/Courtany

Pagi ini, saya tiba-tiba overthinking saat sedang sarapan nasi uduk: “Kenapa, ya, saya dan mungkin banyak orang di Indonesia sebal dengan anak orang kaya yang sukses?”

Konteksnya adalah anak pengusaha atau bahkan konglomerat yang mulai berbisnis di usia muda. Biasanya, mereka mendirikan perusahaan sendiri atau bekerja di perusahaan/anak perusahaan orang tuanya. Dan, ya, mereka sudah jadi CEO sebelum usia 30 tahun.

Kemudian, setelah sarapan, saya BAB (buang air besar). Di situ, saya merenungkan kembali pertanyaan di atas. Kemudian, saya mengambil kesimpulan bahwa ada dua penyebab utama.

Pertama, ya, sekadar iri. Kita yang gajinya belum dua digit iri melihat mereka sudah menjadi CEO. Itu diperparah jika kita ngepoin akun media sosial mereka dan melihat mereka bisa liburan ke Bali atau luar negeri, sementara kita cuma ngejedok di Depok atau Bekasi seumur-umur.

Ilustrasi. Foto: Unsplash/Sir_hennihau

Kedua, ada faktor atau peran dari kampus/korporat/media. Kampus atau korporat suka membuat semacam seminar motivasi bisnis, sedangkan media suka membikin konten talkshow atau tips dan trik berbisnis.

Nah, agar bisa menggaet pasar anak muda, kampus/korporat/media akan mengundang pembicaranya dari kalangan anak muda. Maksudnya, mereka yang usianya kurang dari 30 atau kurang dari 35 tahun. Yang begitu, biasanya adalah anak-anak orang kaya.

Barangkali, anak muda itu adalah anak dari pengusaha media raksasa di sebuah negara. Kebetulan, bapaknya adalah pemilik dari media yang mengundang si anak muda. Misalnya.

Atau mungkin, anak muda yang diundang jadi pembicara seminar motivasi adalah anak dari bos mi instan di sebuah negara. Misalnya. Atau memang, orang tua dari anak muda ini adalah orang yang masuk daftar 10 besar orang terkaya versi Forbes. Misalnya.

Ilustrasi. Foto: Unsplash/mohamed_hassan

Masalahnya, si anak muda tidak mungkin terang-terangan berkata, “Ya, saya sukses karena dibantu bapak saya” ketika menjadi pembicara atau pengisi konten. Yakali.

Si anak muda pasti bilangnya, “Ya, saya sukses karena bekerja keras, selalu lapar akan ilmu, selalu bangkit saat jatuh, memperbanyak relasi, rajin berdoa, blablablablablabla…”

Tinggal kita yang dengerin, “Lha, gua juga perasaan lembur mulu, perasaan ada aja hal baru yang gua pelajari setiap hari di kantor, secapek-capeknya gua masih bertahan dan enggak resign, teman gua perasaan ada di mana-mana, salat 5 waktu enggak pernah lewat, tetapi kenapa nasib gua sama dia jauh banget?”

Bisa jadi memang faktor itu, ya, makanya kita sebal dengan pengusaha-pengusaha muda yang orang tuanya kaya raya. Belum lagi, kalau mereka bilang, “Saya sukses bukan karena relasi ayah saya”.

Ilustrasi. Foto: Unsplash/adamr

Sebenarnya, sih, saya (kita) harus memahami bahwa privilege (keistimewaan di dunia) bagi setiap manusia itu berbeda-beda. Kalau memang anak muda itu ditakdirkan jadi anak konglomerat, ya, sudah. Lebih aman, sih, enggak usah follow akun media sosial mereka untuk menjaga hati dan pikiran.

Dan omong-omong, saya lebih salut ke anak orang kaya yang memanfaatkan privilege mereka untuk berbisnis, bahkan membuat perusahaan sendiri. Itu bisa membuka lapangan pekerjaan, lho.

Kesadaran mereka untuk itu, menurut saya, patut dipuji. Jujur ini. Terima kasih sudah berkontribusi mengentaskan pengangguran.

Saya lebih menghargai mereka daripada anak-anak orang kaya yang kerjanya cuma foya-foya, pesta-pesta, mabuk-mabukan, gonta-ganti pacar, nyetirin pacar saat mabuk lalu mengalami kecelakaan sampai pacarnya meninggal dunia. Misalnya. (17/365)

Leave a Reply