Kilas Balik Proyek Satelit Kemhan Slot Orbit 123 yang Diduga Berujung Korupsi

Nasional

Ilustrasi satelit. Foto: NASA/JPL-Caltech

Proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada tahun 2015 silam kini menjadi perhatian publik. Sebab, proyek itu diduga terindikasi korupsi yang merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.

Kejaksaan Agung menyatakan ada dugaan penyimpangan dalam proyek tersebut. Penyidikan kini sedang dilakukan untuk mencari bukti dan tersangka dalam perkara itu.

Bermula ketika Menkopolhukam Mahfud MD yang menggelar konferensi pers terkait polemik ini pada 13 Januari 2022. Jaksa Agung ST Burhanuddin turut mendampingi Mahfud MD dalam jumpa pers tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD (kanan) bersama Jaksa Agung ST Burhanuddin (kiri) menyampaikan keterangan pers saat berkunjung ke gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (15/3). Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO

Mahfud MD menyebut Pemerintah sudah berkoordinasi membahas soal perkara ini. Termasuk melaporkannya ke Presiden Jokowi. Dari sejumlah diskusi itu, Mahfud MD menyebut Pemerintah sepakat membawa kasus ini ke ranah hukum dan Kejaksaan Agung yang akan menanganinya.

Lantas, seperti apa awal mula permasalahan satelit yang diduga berujung korupsi ini?

Satelit Slot Orbit 123

Permasalahan ini bermula ketika Satelit Garuda 1 yang keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) pada tanggal 19 Januari 2015. Sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.

Saat itu, Satelit Garuda dioperasikan oleh AceS, perusahaan internasional yang dimiliki bersama oleh PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Lockheed Martin Global Telecommunication (LMGT), Phillippine Long Distance Company (PLDT) dan Jasmine Internasional Public Company Ltd. Satelit ini mengorbit di atas langit Sulawesi.

Posisi satelit itu dinilai sangat strategis. Mengutip pemberitaan Kompas.id pada 2018 lalu, tidak saja posisinya yang ada di tengah Indonesia, tetapi juga karena spesifikasinya satelit untuk slot tersebut adalah L-band. L band sangat diperlukan oleh teknologi masa depan, seperti komunikasi mobile, telekomunikasi, dan pengindraan.

Setelah kekosongan terjadi, sejumlah upaya dilakukan agar orbit bekas satelit tersebut tak jatuh ke negara lain. Sebab, berdasarkan ketentuan dari International Communication Union, sebuah badan di bawah PBB yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi dunia, negara yang telah diberi hak pengelolaan satelit akan diberi waktu untuk mengisi kembali orbit dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun.

Masih dikutip dari Kompas.id, rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada 2015 menugaskan Kementerian Pertahanan agar mengisi slot kekosongan yang ditinggalkan Garuda-1 tersebut.

“Menhan lalu ditugaskan presiden mengisi kekosongan,” kata Dirjen Kekuatan Pertahanan Kemhan Bambang Hartawan terkait rapat 4 Desember 2015.

Pertimbangannya ialah karena kategori untuk slot adalah satelit L-band yang sangat strategis. Hanya sekitar delapan negara yang punya slot satelit itu.

Slot L-band itu dinilai sangat penting untuk pertahanan karena bisa dipakai pada cuaca apa pun. Namun, jumlahnya tak banyak.

Pada saat itu, ada satelit Artermis milik Avanti yang akan habis bahan bakarnya 2019. Kemhan lantas menyewa satelit Artemis dengan nilai sewa USD 30 juta. Avanti akan menempatkan satelit Artemis pada 12 November 2016.

Pengisian sementara itu sambil menunggu pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Dalam pembangunan itu Kemhan menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat pada 2015-2016.

Masalah Sewa Berujung Gugatan Arbitrase

Masih mengutip Kompas.id, Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan Laksamana Muda Leonardi pada 2016 mengatakan, awalnya pengadaan satelit akan dilakukan oleh Airbus Defense Space. Namun, pengadaannya memang kemudian bermasalah.

Dari hasil audit BPK, disebutkan bahwa pada 1 Desember 2015, Kementerian Pertahanan dan Airbus Defence and Space (SAS) menandatangani kontrak utama pembangunan satelit MMS dan Ground Segment senilai USD 669,5 juta atau Rp 9,565 triliun. Namun, rupanya Kemhan tidak bisa memenuhi kontrak karena tidak ada anggaran.

Masalah dengan Avanti pun muncul. Sejak 2017, Kemhan juga tidak membayar sewa. Hingga 30 Juni 2017, total tagihan yang belum dibayar Kemenhan sebesar USD 16,8 juta.

Bambang mengatakan, saat menyelamatkan orbit 123 situasi dalam kondisi tak normal karena slot harus segera diisi. Pada saat yang sama, masalah keuangan terjadi. “Kita sedang nego dengan Kemenkeu. Kita komitmen bayar, tapi rupanya Avanti menuntut,” katanya.

Avanti kemudian menghentikan kontrak dan memperkarakan Pemerintah RI ke Pengadilan Arbitrase Internasional di Inggris pada 10 Agustus 2017. Avanti juga mengeluarkan Satelit Artemis dari Slot Orbit 1230 BT pada Bulan November 2017.

”Selama ini, tak ada bantahan dari Pemerintah RI dan kami yakin tuntutan ini bisa dipenuhi di arbitrase,” demikian laporan Avanti, Desember 2017.

Tahun 2018, Kemenhan lalu mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 BT ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pada 10 Desember 2018, pengisian orbit itu diserahkan kepada PT Dini Nusa Kusuma (DNK).

Namun, Menkopolhukam Mahfud MD menyebut PT DNK tidak bisa menyelesaikan masalah yang tersisa dari Kemhan yang menjadi ganjalan dalam pengadaan satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan).

Sementara gugatan Avanti terus bergulir di London Court of International Arbitration (LCIA). Upaya negosiasi pun dilakukan untuk menghadapi tuntutan tersebut.

“Saya diperintahkan Presiden dua tahun lalu untuk mempertahankan slot 123 derajat Bujur Timur sampai 2020,” kata Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 2018.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu melakukan rapat gabungan tetkait kondisi Papua terkini bersama Komisi I DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (5/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Saat itu, Kemhan mengambil dua strategi dalam menghadapi gugatan dari Perusahaan Avanti Communication. Strategi pertama yakni non-litigasi, yakni penyelesaian melalui jalur perdamaian atau negosiasi. Cara negosiasi ini sempat diungkapkan Menhan saat itu, Ryamizard Ryacudu. Sementara strategi kedua yakni litigasi, berupa penyelesaian melalui jalur hukum.

Namun upaya itu tidak berhasil. Pada tanggal 9 Juli 2019, Pengadilan Arbitrase menjatuhkan putusan bahwa Indonesia harus membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar.

Belakangan gugatan lain muncul. Navayo menggugat Kemhan ke Pengadilan Arbitrase Singapura.

Menurut Mahfud, Navayo yang juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan kemudian menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Namun barang disebut tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017.

Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemhan. Pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.

Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan ditagih membayar USD 20.901.209 (sekitar Rp 298 miliar) kepada Navayo.

Total pembayaran yang harus dilakukan Pemerintah atas dua gugatan itu sekitar Rp 800 miliar. Mahfud menyebut angka itu masih berpotensi bertambah.

“Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells, dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi,” ungkap Mahfud.

Akibat permasalahan itu, Mahfud menyatakan pihaknya telah berkoordinasi pihak BPKP untuk melakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT). Selain itu, Kejaksaan Agung juga diminta untuk mengusut permasalahan tersebut.

Mahfud menyebut Pemerintah sudah beberapa kali rapat membahas permasalahan ini. Termasuk rapat bersama Menhan Prabowo Subianto; Menkominfo Johnny G Plate; Menteri Keuangan Sri Mulyani; Panglima TNI; hingga Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Menurut Mahfud, permasalahan ini pun sudah disampaikan kepada Presiden Jokowi. “Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini,” ujar Mahfud.

Kejaksaan Agung Turun Tangan

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah. Foto: Abyan Faisal/kumparan

Kejaksaan Agung sudah bergerak mengusut dugaan penyimpangan terkait proyek satelit Kemhan ini. Perkara bahkan sudah masuk tahap penyidikan.

“Kita menemukan adanya beberapa perbuatan nonhukum. Salah satunya bahwa proyek ini tidak direncanakan dengan baik. Bahkan saat kontrak dilakukan anggarannya pun belum tersedia dalam DIPA Kemhan 2015,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPidsus), Febrie Adriansyah.

Salah satu poin yang disoroti kejaksaan ialah sewa satelit dari Avanti. Febrie menyebut penyewaan tidak perlu dilakukan. Sebab, negara mempunyai waktu tenggang paling lama 3 tahun untuk mengisi slot tersebut.

“Seharusnya saat itu kita tidak perlu menyewa satelit tersebut karena di ketentuannya saat satelit yang lama tidak berfungsi masih ada waktu 3 tahun. Masih ada tenggang 3 tahun tetapi dilakukan penyewaan. Sehingga ada perbuatan melawan hukum,” kata Febrie.

“Satelit yang disewa tidak dapat berfungsi dan spesifikasi tidak sama. Indikasi kerugian negara yang kami ditemukan hasil diskusi dengan auditor diperkirakan uang sudah keluar sekitar Rp 500 miliar lebih, dan ada potensi karena kita sedang digugat arbitrase sebesar USD 20 juta,” ungkap Febrie.

Saat ini, perkara ini sudah masuk tahap penyidikan. Penyidik kini sedang mengumpulkan bukti untuk menjerat tersangka yang paling bertanggung jawab.

Leave a Reply