Kisah Anak Sopir Ojol Dapat Beasiswa S2 ke Inggris, Kini Jadi Konsultan Vaksin

Kisah Anak Sopir Ojol Dapat Beasiswa S2 ke Inggris, Kini Jadi Konsultan Vaksin

Nasional

Nisa Sri Wahyuni (26) anak driver ojol lulusan S2 di Imperial College London. Foto: Dok. Nisa Sri Wahyuni

Nisa Sri Wahyuni (26), namanya viral di platform berjejaring Linkedin usai membagikan pengalaman inspiratif belakangan ini.

Ayahnya bekerja sebagai sopir ojol dan mantan satpam sekolah swasta di Jakarta. Sementara sang ibu adalah ibu rumah tangga.

Nisa mengenyam pendidikan S1 di Universitas Indonesia jurusan Kesehatan Masyarakat dan mendapatkan gelar S2 di Imperial College London dengan beasiswa LPDP.

Dalam postingannya, ia menyematkan fotonya bersama sang ayah yang menggunakan jaket ojol. Nisa menyebutnya sebagai salah satu foto favorit.

“Ayah dan ibuku, keduanya tidak pernah duduk di bangku sekolah menengah atas, ya mereka hanya menyelesaikan sekolah mereka sampai Sekolah Dasar tetapi mereka selalu bermimpi untuk melihat putri mereka memiliki pendidikan yang lebih baik dari mereka,” tulisnya.

Nisa Sri Wahyuni (26) anak driver ojol lulusan S2 di Imperial College London. Foto: Dok. Nisa Sri Wahyuni

Pencapaian Nisa di usia 26 tahun begitu membanggakan. Namun jalan terjal yang ia lalui dalam meraih mimpi-mimpinya juga tidak mudah dilewati.

Kepada kumparan, Nisa menceritakan bagaimana ia meraih berbagai beasiswa sejak perguruan tinggi S1 di UI hingga S2 di Imperial College London, Inggris.

“Sejak S1 aku mendapat beasiswa bidikmisi. Setelah lulus dan bekerja sebagai periset di rumah sakit, aku merasa ada gap knowledge yang membuat aku berkeinginan S2, tapi tentu saja biaya jadi pertimbangan. Aku mulai daftar LPDP dulu dari 2017 sampai 2018 akhir,” tuturnya, Senin (7/3).

Selama setahun, ia gagal mencoba berbagai tes beasiswa, mulai dari LPDP dan beragam jenis lainnya dari sejumlah negara.

“Aku gagal sampai tujuh kali, baru akhir tahun 2018 LPDP buka lagi, dan aku coba lagi. Aku evaluasi dari apa yang aku kurang pada tes sebelumnya. Dan aku tau aku harus improve bahasa Inggris,” tuturnya.

Tiket beasiswa sudah dikantongi. Namun perjalanannya mencari kampus di luar negeri tidak mulus begitu saja. Cita-citanya masuk ke Imperial College London harus tertahan karena nilai tes Bahasa Inggris atau IELTS-nya tidak mencapai standar persyaratan.

“Nilai hanya 5.5 padahal yang diminta itu 7. Jauh sekali kan, makanya aku harus mengejar ketertinggalan dalam waktu yang terbatas, karena pembukaan mahasiswa baru di bulan Maret, sementara September sudah masuk perkuliahan,” imbuhnya.

Dengan uang tabungan yang ia miliki, ia mencari guru privat IELTS. Nisa menuturkan, dia bahkan harus menawar guru tersebut agar mendapat harga yang lebih terjangkau.

“Jadi kan aku tahu kekurangan aku apa di IELTS, aku fokus membenarkannya di situ aja, makanya aku menawar harga ke guru private itu,” tuturnya.

Namun tak cukup dengan guru private, hasil tes IELTS nya masih belum juga mencukupi persyaratan. Dengan uang tabungan, dia sampai ke sekolah bimbel di Jogja untuk fokus belajar bahasa Inggris.

Di saat yang sama ia juga berkontribusi dalam sebuah projek untuk pasien kanker yang bekerja sama dengan organisasi kesehatan internasional. Nisa menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia.

Pada tes IELTS ke lima, nilainya masih belum mencukupi persyaratan Imperial College. Namun Nisa bertekad untuk mengajukan permohonan negosiasi, dia menemukan sebuah aturan di mana calon mahasiswa berhak mengajukan persyaratan bila ia berkontribusi signifikan di bidangnya.

“Alhamdulillah project itu berhasil, dan aku meminta surat rekomendasi dari supervisor-ku yang seorang ahlinya dari Singapura. Selain itu, nilai IELTS ku menunjukkan perkembangan dari 5.5 menjadi 6.5, sementara syarat mereka adalah 7. Dan pihak kampus mempertimbangkannya,” tuturnya.

Pulang ke Indonesia berkontribusi jadi konsultan vaksin

Saat lockdown pertama pandemi 2020 di London, Nisa bertekad untuk kembali ke tanah air dan berkontribusi dalam pencegahan dan penanganan COVID-19.

Ia membuktikannya, pada tahun 2021 usai lulus ia melamar pada sebuah badan organisasi kesehatan dunia dan kini berhasil menjadi salah seorang konsultan vaksinasi hingga saat ini.

Kini Nisa ingin menularkan semangatnya dalam meraih mimpi-mimpi pada generasi muda. Unggahan viral Nisa menunjukkan bahwa kerja keras akan membuahkan hasil dan setiap orang memiliki waktu dalam mencapai impian yang diusahakannya.

“Setiap orang itu punya waktunya masing-masing, jangan pernah membandingkan pencapaian kamu dengan orang lain. Fokus dengan diri kamu dan akui yang kurang untuk evaluasi,” kata Nisa.