Koruptor Wastafel Rp 41,2 M di Disdik Aceh Dinilai Bisa Dijerat Hukuman Mati

Koruptor Wastafel Rp 41,2 M di Disdik Aceh Dinilai Bisa Dijerat Hukuman Mati

Nasional

Ilustrasi hukuman mati. Foto: ArtWithTammy via Pixabay

Lembaga antikorupsi, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), menilai koruptor kasus dugaan korupsi pengadaan wastafel Rp 41,2 miliar di Dinas Pendidikan Aceh bisa dijerat hukuman mati. Kepolisian Daerah Aceh sedang mengusut kasus ini, tapi belum seorang pun jadi tersangka.

“Mengingat anggaran [pengadaan itu] bersumber [dari] refocusing APBA 2020 untuk penanganan COVID-19, artinya negara dalam keadaan bencana, jadi kalau ada yang korupsi dapat dijerat dengan hukuman mati,” kata Alfian, Koordinator Badan Pekerja MaTA, Sabtu (5/3).

Pengadaan wastafel dianggarkan Dinas Pendidikan Aceh pada 2020 untuk Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan di seluruh Aceh. Pagu anggaran proyek ini Rp 41,2 miliar bersumber dari dana refocusing (pengalihan) COVID-19 Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA).

Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian. Foto: Dok. acehkini

Pengadaan ini heboh kala itu karena diprotes berbagai kalangan di Aceh. Pada 1 Juli 2021, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Aceh menyelidiki kasus ini. Jumat (4/3/2022), polisi menaikkan kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan setelah menemukan cukup bukti permulaan ada dugaan korupsi.

Alfian menyebut peningkatan status hukum itu menandakan ada calon tersangka dalam kasus ini. Ia berharap polisi segera mengumumkannya. Menurutnya, menjerat tersangka korupsi dalam keadaan bencana dengan hukuman mati bakal memberikan efek jera dan rasa keadilan sesuai aturan pemberantasan korupsi.

MaTA menyarankan Kepolisian Daerah Aceh, dalam kasus ini, menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat calon tersangka. Dalam pasal itu disebutkan apabila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pelakunya dapat dikenakan hukuman mati.

“Kalau pelaku [dugaan korupsi wastafel] dijerat dengan hukuman mati maka menjadi ‘pengetahuan’ bagi seluruh Indonesia, artinya negara tegas terhadap maling uang di saat bencana terjadi,” tutur Alfian.

Penggunaan pasal itu, menurut Alfian, memenuhi unsur karena ia berasumsi bahwa negara dirugikan secara total. “Karena di banyak tempat wastafel tidak berfungsi,” ujarnya.

Ketika pengadaan itu dianggarkan tahun 2020, MaTA memprotes karena seluruh sekolah dianggap sudah ada wastafel. Langkah seharusnya diambil kala itu, menurut MaTA, mengevaluasi wastafel yang sudah ada di sekolah, bukan membangun dari awal dengan dana Rp 41,2 miliar.

“Sehingga paket pengadaan tersebut menjadi anggaran bancakan bagi pihak [untuk] mencari untung di tengah rakyat kebingungan bertahan hidup dalam menghadapi COVID-19 pada saat itu,” kata Alfian.