Mendudukkan Polemik Jenama Indonesia di Pekan Mode Dunia

Mendudukkan Polemik Jenama Indonesia di Pekan Mode Dunia

Nasional

Selain panasnya dunia karena invasi Rusia ke Ukraina, media sosial Indonesia minggu ini diramaikan oleh kontroversi kemunculan jenama-jenama Indonesia di Paris Fashion Week. Jenama-jenama tersebut ramai mewartakannya, ditambah deretan artis dan pendengungnya, semua menggunakan tagar Paris Fashion Week 2022. Dalam waktu singkat, ramai pencinta mode Indonesia membantahnya, berargumen bahwa jenama-jenama ini hanya kebetulan melakukan pagelaran di Paris bersamaan dengan Paris Fashion Week (PFW), namun bukan bagian dari PFW.

Sebagai seseorang yang bertahun-tahun mendatangi berbagai acara mode di Indonesia untuk kepentingan menulis, saya beberapa kali melihat kontroversi serupa. Namun karena kali ini melebar ke kredibilitas beberapa jenama mode Indonesia yang potensial, saya akhirnya memutuskan bersuara melalui utas Twitter. Atas permintaan redaksi kumparan, utas tersebut saya tuangkan dalam tulisan yang semoga lebih komprehensif.

Langkah pertama verifikasi kepesertaan dalam Paris Fashion Week Fall/Winter 2022-2023 sesederhana mengecek situs resmi penyelenggara yang terbuka untuk publik di link: https://parisfashionweek.fhcm.paris/en/womenswear-fall-winter-2022-2023/. Jenama legendaris seperti Christian Dior, Saint Laurent, Nina Ricci, Yohji Yamamoto dan VTMNTS muncul di laman pertama, lengkap dengan waktu, lokasi, dan deskripsi pagelaran. Akses informasi serupa juga umum ditemui untuk pekan mode dunia lain atau lokal seperti Jakarta Fashion Week (JFW) dan Indonesia Fashion Week.

Untuk bisa tampil di acara utama pekan mode dunia dibutuhkan undangan dari penyelenggara setelah seleksi panjang dan ketat. Makin berkibar sebuah jenama dari kreativitas dan penjualan, makin kuat posisinya. Penyelenggara amat berkepentingan memasukkan dan mempertahankan jenama-jenama berkualitas demi relevansi penyelenggaraan.

Lalu, apakah bisa berpartisipasi dalam PFW F/W 2022-2023 tanpa melalui pagelaran? Bisa. Pada tombol “Events” di situs PFW bisa ditemukan dua jenama Indonesia, Sean Sheila dan Jewel Rocks, dalam sebuah showroom, fasilitas non-pagelaran yang mempertemukan desainer dengan trade buyers. Sebagai jembatan antara desainer dengan peritel, trade buyers memilih busana yang cocok untuk klien peritel dari deretan jenama dalam trade show atau pekan mode.

Sumber: Paris Fashion Week

Perhatikan bahwa pekan mode ini menyebutkan musim gugur dan dingin 2022-2023, yang artinya 8-9 bulan lagi. Mengapa dilakukan jauh di muka? Itu karena, perlu waktu transaksi antara buyers dan desainer, produksi, lalu distribusi ke peritel dan konsumen akhir. Penjahit Anda saja butuh seminggu untuk sehelai gaun atau jas, apalagi desainer yang harus memenuhi pesanan volume besar. Sekitar 6 bulan dari sekarang, menjelang akhir tahun, akan ada ronde pekan mode lagi, untuk desain musim semi dan panas tahun depan.

Demikian siklus industri mode mulai dari presentasi, transaksi bisnis, produksi, distribusi, promosi, sampai ke transaksi ritel. Sama dengan yang dilakukan almarhum Steve Job untuk gawai Apple, presentasi selalu jauh di muka. Proses panjang kreatif ini diilustrasikan cukup baik dalam Unzipped, film dokumenter tahun 1995 yang merekam persiapan desainer Isaac Mizrahi dalam menyiapkan koleksi F/W 1994.

Kembali ke kalender Events di atas. Dalam deskripsi jelas disebutkan bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris bekerja sama dengan L’Adresse Paris Agency dalam menyeleksi dan menghadirkan Sean Sheila dan Jewel Rocks selama 4 hari di showroom resmi PFW. Hal ini dikonfirmasi oleh Sheila Agatha, salah satu desainer di balik Sean Sheila, saat saya hubungi via telpon. Dari sini jelas siapa jenama Indonesia yang hadir di PFW F/W 2022-2023 dan dalam bentuk apa.

Pertanyaan berikutnya, bisakah mengadakan pagelaran busana di Paris saat PFW berlangsung? Tentunya bisa.

Paris adalah metropolitan luas dan PFW tidak memonopoli tempat. Acara-acara satelit selalu ada di sekitar pekan mode utama (Main Four); New York, London, Milan, Paris. Mengapa? Karena momentum kehadiran media, kalangan kreatif dan buyers untuk menghadiri pekan mode utama. Peserta acara satelit berkesempatan tersorot atau mengembangkan jejaring. Cukup banyak agensi yang menawarkan acara satelit ke jenama-jenama yang ingin masuk ke pusaran mode dunia. Selama jelas status dan tidak mengaitkan diri ke pekan mode utama, silakan. Ingat, tiap pekan mode adalah merk dagang dengan hak cipta, gamblang disebutkan dalam situs resminya berikut risiko bila dilanggar.

Pertanyaan yang lebih mendasar, mengapa Pemerintah dan asosiasi mode Indonesia gemar membawa jenama mode ke mancanegara? Selain nasionalisme, ada potensi pasar ekspor. Industri mode amat padat karya. Di balik sosok desainer berdiri pasukan besar penggambar pola, pemotong kain, penjahit, pembordir, pengepas, dan pengepak. Ada jejaring distribusi antara rumah mode dan peritel. Peritel mempekerjakan penjaga stok, staf penjual dan tim pemasaran. Belum lagi staf keuangan dan pengiklan yang dipekerjakan kedua pihak. Makin besar pesanan ekspor, makin banyak pekerjaan. Dan di negara yang lebih dari 100 juta penduduknya berusia produktif dengan tingkat pengangguran tinggi, butuh lapangan kerja luas. Yang dilakukan Kemenparekraf/Gekrafs untuk mengenalkan jenama Indonesia ke Paris tidak salah, namun harus tepat sasaran dan eksekusinya agar efektif. Kejujuran akan status dan lingkup acara adalah langkah awal yang benar.

Kembali ke kegaduhan di media sosial, apakah lantas semua jenama Indonesia yang hadir di Paris, baik melalui KBRI atau Gekrafs, lantas abal-abal? Nanti dulu. Selain Sean Sheila melalui KBRI di PFW, ada IKYK dan Danjyo Hiyoji melalui Gekrafs di acara lain. Mari melongok jenama-jenama ini.

Sean Sheila adalah salah satu jenama muda berpotensi Indonesia. Diawaki Sean Loh dan Sheila Agatha, sejoli yang bertemu di sekolah mode Singapura sebelum menjadi pasangan hidup dan kerja, jenama ini memenangkan Harper’s Bazaar Asia New Generation Award 2013. Konsisten menelurkan desain memukau dan berkualitas premium dari balai kerjanya di Purbalingga, Sean Sheila sudah merambah Jakarta Fashion Week, Mercedes-Benz Sydney Fashion Week, dan showroom PFW selama beberapa tahun. Pun terpilih masuk Indonesia Fashion Forward (IFF), inkubator pengayaan bisnis yang lama diselenggarakan JFW. Mayoritas jenama yang pernah dibina IFF punya rekam jejak baik di Indonesia.

Koleksi awal tahun 2022 Sean Sheila.Dokumentasi: Sean Sheila

Hal yang sama bisa dikatakan untuk IKYK dan Danjyo Hiyoji; kedua jenama berbasis di Jakarta ini adalah alumni IFF, masing-masing dengan capaian tersendiri.

Digawangi oleh Anandia Marina Putri, I Know You Know (IKYK) berbasis busana santun, sebuah kategori yang melesat di Indonesia beberapa tahun terakhir. Satu hal yang membedakan, IKYK konsisten menginovasi kain demi material yang ramah lingkungan dan berefisiensi dalam pemolaan demi mengurangi limbah. Setelah pengakuan dari Cleo Fashion Awards, IKYK menyabet penghargaan Young Fashion Designer Award dari Australia-Indonesia Center pada tahun 2016. Koleksinya pernah ditampilkan di Fashion Kode Korea Selatan dan Rakuten Tokyo Fashion Week.

Koleksi IKYK di Jakarta Fashion Week ke-12, Oktober 2019Dokumentasi: Lynda Ibrahim

Danjyo Hiyoji didirikan oleh Dana Maulana dan Liza Masitha, dua sahabat sejak sekolah menengah. Memenangkan predikat jenama lokal terinovatif pada Cleo Fashion Awards 2009, Danjyo Hiyoji awalnya melejit di kancah mode Indonesia melalui garis desain streetwear yang cepat diamini Gen Y dan Gen Y, salah satu jenama yang terkurasi untuk gerai Bekraf pada Asian Games 2018. Luwes berkolaborasi dan berani mengambil risiko, pagelaran Danjyo Hiyoji selalu dipenuhi gegap-gempita konsumen setianya. Pernah mengambil putri gembong Yakuza sebagai inspirasi desain beberapa tahun lalu, koleksi terbarunya berkolaborasi dengan perupa Bunga Yuridespita.

Koleksi Danjyo Hiyoji di Jakarta Fashion Week ke-12, Oktober 2019Dokumentasi: Lynda Ibrahim

Jadi, bila beberapa jenama Indonesia yang ke Paris ternyata mumpuni, mengapa kehebohan tetap terjadi? Karena pencinta mode Indonesia makin terdidik, punya akses ke informasi, dan berani mengkritik. Naif menganggap semua kritik terhadap serampangannya penggunaan tagar Paris Fashion Week 2022 datang dari iri hati. Tindakan asal klaim selain mencoreng integritas Indonesia juga berisiko reaksi (hukum) dari pemegang resmi merk dagang PFW. Cukup menyatakan akan menggelar karya di luar negeri tanpa mendompleng wahana apa pun, pencinta mode setia akan bersorak mendukung. Mengkritik keserampangan penggunaan tagar dan potensi penyesatan pesan bukan artinya benci terhadap produk negeri sendiri—justru dilakukan karena cinta, bangga dan peduli.

Yang juga perlu dikritisi adalah batalion pendengung yang sering asal dicomot, sekadar didasari jumlah pengikut media sosialnya atau prestasi lain walaupun tak paham perkara yang didengungkan. Pendengung harus dikendalikan penuh pemilik pesan dan ditertibkan bila salah menuliskan pesan. Habis energi publik untuk meluruskan struktur PFW dan mendebat relevansi kuliner di acara mode, sampai jenama mode berpotensi Indonesia luput tersorot atau malah dianggap abal-abal. Selain konyol, pembodohan publik ini kontraproduktif terhadap acara yang digadang menaikkan pamor.

Untuk Pemerintah dan asosiasi mode, tetap kirim talenta mode berpotensi Indonesia ke mancanegara. Bukan hanya untuk pagelaran mewah, tapi juga bertemu trade buyers dunia seperti pilihan bijak yang dilakukan KBRI Paris tahun ini tanpa terlalu riuh publisitas. Jujur dan terbuka dalam menggaungkan acara yang diikuti demi edukasi publik dan efektivitas kegiatan. Mau jadi pemain kelas dunia? Mulai bersikap lah sesuai kelasnya.

Bagi publik Indonesia, tetap dukung para talenta mode Indonesia. Baca beritanya, tonton pagelarannya, kritisi karyanya dan beli semampu Anda. Dukung mereka, bahkan saat tiada kesilapan diksi penyelenggara acara yang membuat semua mendadak peduli pada mode Indonesia.

Diluar ketiga jenama tadi, banyak yang lain. Ada talenta dahsyat seperti Toton Januar, yang pada tahun 2016 menjadi satu-satunya desainer Indonesia yang pernah menang International Woolmark Prize. Ada NurZahra, yang tahun 2014 adalah jenama busana santun pertama yang tampil di Mercedes-Benz Tokyo Fashion Week dan diliput Vogue Italia. Ada Major Minor, mungkin jenama pertama Indonesia yang sukses keluar dari lingkup atelier dan mengarah ke model bisnis rumah mode besar setelah dibeli salah satu perusahaan tekstil di Indonesia. Konsistensi pendukungan kitalah yang menopang jenama mode Indonesia saat mereka mengepakkan sayapnya menuju dunia luar.