Mengenal Fenomena Duck Syndrome: Bahagia di Luar, Suram di Dalam

Mengenal Fenomena Duck Syndrome: Bahagia di Luar, Suram di Dalam

Nasional

Ilustrasi pura-pura menangis. Foto: Oleg Magni dari Pexels

Kamu mungkin punya salah satu teman yang kamu rasa hidupnya berjalan mulus karena terlihat selalu bahagia. Nilainya selalu bagus, bisa masuk sekolah atau kampus ternama, bahkan sering update di akun media sosialnya dan bisa memenuhi ekspektasi orang tua.

Tapi, jangan berprasangka buruk dulu. Karena kita enggak pernah tahu apa yang terjadi di balik itu semua dan bagaimana seseorang menjalani kehidupan yang sebenarnya. Nah, di balik kebahagiaan dan kesuksesannya itu, ternyata, selalu ada tekanan dan banyaknya masalah yang ia tutupi agar bisa selalu terlihat baik-baik saja.

Keadaan ini pun disebut juga dengan duck syndrome. Apa hubungannya bebek dengan keadaan itu semua? Supaya kamu lebih paham, yuk simak penjelasan di bawah ini dilansir Ruangguru.

Duck Syndrome

Istilah ini pertama kali muncul di Stanford University, Amerika Serikat. Awalnya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang yang terlihat tenang tapi sebenarnya mengalami gangguan kecemasan.

Duck Syndrome ini dianggap dialami seseorang yang memiliki tekanan untuk dapat terlihat sempurna. Kondisi ini dianalogikan seperti bebek yang sedang berenang karena saat berenang, bagian atas tubuh bebek terlihat sangat tenang tapi sebenarnya kakinya sedang mengayuh dengan cepat untuk bisa tetap di atas air.

Istilah ini enggak secara resmi diakui sebagai penyakit mental, tapi lebih mengacu pada fenomena yang digunakan untuk mendeskripsikan siswa, mahasiswa, atau seseorang yang sedang beranjak dewasa. Mereka yang mengalami ini akan terlihat tenang dan bai-baik saja, tapi sebenarnya mereka sedang mengalami banyak tekanan dan kepanikan untuk mencapai tuntutan hidupnya. Seperti tuntutan akademik untuk dapat nilai bagus, hidup mapan, dan sebagainya.

Ilustrasi gangguan mental pada anak. Foto: Shutter Stock

Penyebabnya duck syndrome?

Hal ini dapat dialami oleh orang-orang yang masih berusia muda seperti siswa, mahasiswa, atau kamu yang menuju masa dewasa di atas 18 tahun. Duck Syndrome lebih rentan dialami oleh orang-orang berusia muda karena orang-orang ini sedang merasakan berbagai pengalaman hidup baru untuk pertama kalinya. Misal, jauh dari orang tua atau tuntutan akademis yang lebih berat.

Bukan hanya itu, faktor lainnya juga bisa terjadi akibat dari lingkungan keluarga yang terlalu protektif serta selalu menekankan pada prestasi.

Selain itu, rasa perfeksionis, ekspektasi yang terlalu tinggi dari keluarga dan lingkungan sosial, kepercayaan diri rendah, pengaruh media sosial yang membuat seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain, hingga peristiwa traumatik di masa lalu juga menjadi faktor lain seseorang bisa mengalami ini.

Walaupun secara enggak resmi disebut sebagai gangguan psikologis atau penyakit mental, tapi seseorang yang alami duck syndrome juga berisiko mengalami masalah psikologis tertentu seperti depresi, gangguan cemas, atau gangguan mental lainnya.

Ciri-ciri orang yang terkena Duck Syndrome

Tanda dari duck syndrome ini enggak terlalu jelas dan mirip dengan gangguan psikologis seperti depresi atau gangguan kecemasan. Tapi, ada beberapa gejala yang sering digambarkan dalam fenomena ini, yaitu:

– Selalu memaksakan diri untuk terlihat selalu baik-baik saja dan bahagia namun diam-diam merasa panik

– Merasa gagal untuk memenuhi tuntutan yang berlebihan

– Merasa orang lain memiliki nasib yang lebih baik dari diri sendiri

– Membandingkan diri dengan orang lain

– Merasa diamati orang lain

– Serta merasa susah tidur, pusing, dan sulit untuk berkonsentrasi

Bagaimana cara mengatasinya?

Untuk mengatasinya, kamu perlu ada diagnosa terlebih dahulu. Orang yang mengalami duck syndrome juga bisa diakibatkan karena adanya gangguan psikologis lain. Sehingga, kondisi seperti ini enggak bisa untuk terus dibiarkan atau disepelekan, karena bisa membuat penderitanya mengalami depresi berat hingga keinginan untuk bunuh diri.

Cara paling tepat untuk mengatasi duck syndrome adalah dengan berkonsultasi ke dokter, psikolog, atau psikiater untuk bisa mendapatkan penilaian medis menyeluruh. Selain itu juga evaluasi kesehatan mental yang komprehensif.

Kombinasi antara psikoterapi dan obat-obatan bisa menjadi solusi untuk mengatasi depresi atau kecemasan dan mengurangi duck syndrome. Kamu juga bisa, lho, mencoba terapi gaya hidup, perubahan perilaku, hingga berlatih untuk lebih menyayangi dan menerima diri sendiri.

Berikut adalah tips menjaga kesehatan mental yang bisa dilakukan:

– Belajar untuk mencintai diri sendiri

– Jalani pola hidup sehat dengan berolahraga, mengonsumsi makanan bergizi, menghindari rokok, dan alkohol

– Luangkan waktu untuk me time dan relaksasi

– Kenali kapasitas diri untuk bekerja sesuai dengan kemampuan

– Jauhi media sosial untuk sementara waktu

– Berpikir positif dan jangan bandingkan diri dengan orang lain

– Lakukan konseling

Laporan Afifa Inak

Leave a Reply