Obrolan Bijak: Tentang Cinta

Nasional

Ditulis oleh: Farhanah Fitria Mustari (Managing Director YTSB)

Sumber: Foto Pribadi Penulis

Membahas cinta, selalu punya ruang tersendiri di hati setiap orang. Dari cinta yang bersemi pada pandangan pertama hingga cinta yang dilepaskan dengan ikhlas. Apa pun bentuk, proses, hingga kisah di balik cinta yang selalu menarik untuk disimak. Lantas, apakah cinta bisa didefinisikan seperti kita yang mampu menggambarkan bagaimana rupa sebuah makanan yang disukai? Seringkali, tidak. Kita tidak mampu menjelaskan apa itu cinta dengan sepatah dua patah kalimat. Lebih baik, cinta dimaknai dari dalam wujud pengalaman.

Kali ini, saya ingin berbagi kisah tentang cinta yang tumbuh dari pertemuan tidak terduga dan luar biasanya, datang dari orang asing.

Sumber: Foto Pribadi Penulis

Sebagai seorang individu yang merasa bahwa nilai hidupnya adalah pencapaian dan terbiasa untuk berlari dibandingkan berjalan. Saya mempunyai kecenderungan untuk tidak melihat sekitar. Beberapa momen terabaikan begitu saja, karena sepakat fokus dengan kecepatan. Padahal, hidup adalah tentang arah dan menikmati setiap langkah demi langkah. Namun, hidup selalu menawarkan kejutan dari banyak pintu dan selalu berakhir dengan sebuah pembelajaran.

Menjadi Ketua Yayasan di usia yang sangat muda di tengah idealisme dan ambisi selalu menyisakan ruang kebimbangan. Akan tetapi, di balik pikiran yang kusut selalu ada cara untuk mengurai dengan kehadiran cinta. Bukan asing, kalau saya ke Panti Asuhan baik sengaja maupun tidak, selalu ada cerita cinta. Cerita yang menjadi pesan kebaikan agar lebih arif dalam menyikapi kehidupan. Suatu hari, saya mendengar kisah seorang anak SD pria yang baru saja masuk ke Panti Asuhan baru-baru ini. Kita sebut saja namanya “Sunshine”.

Dek Sunshine, saat ini kelas 6 SD dan berstatus yatim & piatu. Lahir dari keluarga tidak mampu yaitu pemulung. Ibunya meninggal karena terpeleset di kamar mandi dan dia seorang diri yang mengabarkan ke pihak sekolah bahwa Ibunya telah tiada. Selama satu jam, dia yang tidak berbadan besar harus mendobrak pintu kamar mandi di tengah hujan yang turun deras. Singkat cerita, dia naik ke atas atap untuk loncat ke kamar mandi (atap kamar mandi terbuka), namun sayangnya kakinya tersangkut di sela-sela pipa karena licin. Salah satu kakinya berdarah banyak. Dia terseok-seok untuk turun dari atap dan mencari bantuan dari warga. Akhirnya, pihak sekolah & warga berhasil mendobrak pintu kamar mandi & mengeluarkan Ibu dia yang sudah kembali pada Sang Maha setelah lebih dari dua jam.

Anak ceria dan mempunyai senyum ada di depan saya, kala itu. Dia yang teriak paling keras memanggil nama saya dan selalu menyelipkan canda. Kata orang, jangan pernah melihat orang dari permukaan dan setiap orang membawa kisah hidupnya yang tidak akan pernah lepas. Pada akhirnya, saya adalah manusia. Begitupun, dirinya. Berulang kali meyakinkan bahwa “saya baik-baik saja” dengan menampilkan citra lain, namun dalam hati masih menyimpan pilu.

Saya jadi teringat sebuah kutipan dari Stephen Levine:

“What might it be like to awaken each day into an increasing sense that being loving is even more important than being loved?”

Dari sini saya belajar, cinta adalah tentang keberanian menampilkan sisi rapuh. Andaikan, setiap manusia berani untuk menunjukkan kepada dunia dan isinya bahwa kita mencintai dengan segenap jiwa. Serta, tidak sungkan untuk berkata kepada orang yang sudah teruji setia di sisi kita dengan bilang:

Whether in sickness or in healt, good fate or bad. My love for you crests & renews endlessly.

Leave a Reply