Siapkah Indonesia Menyambut Metaverse?

Siapkah Indonesia Menyambut Metaverse?

Nasional

Ilustrasi metaverse. Foto: tolgart/Getty Images

Dalam beberapa bulan terakhir, metaverse menjadi istilah yang ‘seksi’ di dunia teknologi. Kata tersebut –yang merujuk pada konsep dunia virtual di mana orang dapat bermain dan bekerja– digadang-gadang akan menjadi hal besar berikutnya dalam perkembangan era internet yang akan merevolusi hidup manusia.

Sejumlah perusahaan teknologi besar telah berinvestasi untuk menciptakan metaverse. Induk Facebook, Meta, pada tahun lalu mengumumkan investasi senilai 10 miliar dolar AS di 2021 untuk mengembangkan metaverse. Adapun Microsoft baru-baru ini mengakuisisi penerbit game Activision Blizzard senilai hampir Rp 1.000 triliun demi mengembangkan metaverse.

Menurut Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Telkomsel, Mohamad Ramzy, metaverse memang memungkinkan cara hidup yang benar-benar baru. Salah satunya, kata dia, metaverse memungkinkan orang melakukan pembelajaran jarak jauh secara imersif.

“Kalau saat ini pembelajarannya itu flat dengan screen. Ke depan bisa jadi pembelajarannya itu secara imersif. Kita akan membawanya ke ruang metaverse. Kemudian pengajar atau pembicaranya itu hadir di situ secara virtual, peserta pelatihan juga bisa hadir secara virtual, dan di situ tentu saja ada interaksi ekonomi yang bisa dibangun,” kata Ramzy dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Alumni Universitas Telkom, Rabu (2/2).

Ilustrasi metaverse. Foto: Westend61/Getty Images

Gambaran final soal metaverse sendiri hingga kini masih buram. Ia merupakan istilah yang belum memiliki definisi tunggal. Hal tersebut tidak mengherankan karena produk finalnya belum ada.

Secara historis, istilah metaverse lahir dari novel Snow Crash karangan Neal Stephenson yang terbit pada 1992. Dalam novel tersebut, orang-orang menggunakan avatar mereka sendiri untuk menjelajahi dunia online, khususnya untuk kabur dari realitas distopia.

Kendati istilah metaverse baru populer kembali 3 dekade kemudian, konsep dunia virtual yang bisa dipakai untuk beraktivitas bersama sebenarnya telah tercermin dalam sejumlah game open world seperti Minecraft atau Roblox. Pada 2019 lalu, Forbes bahkan telah menggunakan istilah metaverse untuk mendeskripsikan event khusus pemutaran trailer Star Wars di game Fortnite.

Menurut CEO kumparan, Hugo Diba, metaverse tak hanya menyoal penggunaan teknologi baru. Ia juga menyangkut soal peluang di mana orang dapat berinteraksi secara langsung tanpa terbatas oleh ruang.

Kita bicara mengenai bisnis e-commerce. Kita bicara mengenai bagaimana nanti pembeli dan penjual bisa berinteraksi lebih sophisticated. Artinya, akan banyak sekali peluang besar yang mungkin nilai ekonominya lebih besar ketimbang aspek teknologinya.– Hugo Diba, CEO kumparan –

Risiko dan tantangan di balik metaverse

Di sisi lain, metaverse memiliki sejumlah risiko di baliknya. Bagi dunia bisnis, misalnya, metaverse mungkin tidak relevan untuk aktivitas sehari-hari.

Ramzy menjelaskan bahwa investasi untuk metaverse perlu ditinjau lebih dalam. Sebab, pengaplikasian metaverse masih terganjal dengan pengalaman yang kurang menyenangkan karena memerlukan perangkat VR. Dia juga menyoroti risiko penolakan masyarakat untuk memakai metaverse, dengan menganalogikan fenomena fatwa haram MUI untuk uang kripto.

Hal senada disampaikan oleh Direktur Jakarta Smart City, Yudhistira Nugraha. Menurutnya, sebuah teknologi akan mempengaruhi hidup masyarakat jika mampu memberikan kemudahan, kenyamanan, dan ketergantungan. Masalahnya, metaverse belum mudah digunakan saat ini.

“Kita belum ada interaksi (saat menggunakan metaverse),” kata Yudhistira. “Istilahnya, belum ada engagement.”

Bagaimanapun, Yudhistira menganggap bahwa rintangan teknis semacam itu dapat dilampaui dalam beberapa tahun ke depan. Keyakinannya tersebut didasarkan pada bagaimana perangkat komputer yang umumnya berukuran besar pada tahun 90-an akhir bisa jadi ergonomis saat ini.

Kendati masalah teknis dapat dilalui, Yudhistira mewanti-wanti akan risiko kejahatan baru yang mungkin muncul di metaverse. Ia menyebut, kemunculan teknologi baru kerap diiringi dengan kemunculan kejahatan-kejahatan lama – seperti penipuan, kekerasan seksual, atau pencurian data – dengan cara baru.

“Suatu lingkungan yang baru itu akan memberikan suatu risiko baru pula,” jelasnya.

Yudhistira menyebut bahwa regulasi untuk metaverse mungkin baru akan dibuat ketika ia sudah mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Namun, dia menyarankan bahwa otoritas setidaknya dapat menerapkan hukum yang ada saat ini untuk merespons kejahatan di dunia virtual.

Liburan menggunakan Virtual Reality di Jepang. Foto: Kim Kyung-hoom/REUTERS

Risiko lain yang sangat mungkin terjadi di metaverse adalah hoaks yang masif, menurut Hugo. Ini merupakan konsekuensi dari betapa cepatnya informasi tersebar di dunia virtual. Oleh karena itu, ia menganggap media punya peranan penting untuk memverifikasi informasi agar metaverse tidak “chaos.”

“Itu sebuah kondisi di mana nanti ketersediaan bandwidth sedemikian besar. Nah, ketersediaan bandwidth yang sedemikian besar itu pada akhirnya akan digunakan untuk mengirimkan informasi yang sedemikian besar juga. Real-time. Seamless. Virtual sama real sudah tidak bisa dibedakan lagi,” kata Hugo.

“Ketika bicara metaverse, semakin level maturity-nya semakin tinggi, ya media akan memegang peranan yang sangat penting untuk menjustifikasi terkait kebenaran informasi yang beredar.”

Untuk menghadapi risiko-risiko tersebut, pendidikan jadi kunci agar Indonesia siap menyambut metaverse.

Profesor kecerdasan buatan (AI) di Universitas Telkom, Suryanto, menjelaskan bahwa saat ini sudah banyak universitas di Indonesia yang mengembangkan kurikulum bisnis digital, data science dan AI. Namun, kata dia, pendidikan teknologi saja tidak cukup untuk metaverse.

“Metaverse tidak hanya membutuhkan talenta-talenta yang memahami teknologi, tetapi juga bidang-bidang lain seperti komunikasi, kreativitas, sosial, seni, dan lain-lain,” ujar Suryanto.

Ini sangat penting. Kalau cuma di bidang teknologi saja, nanti muncul banyak masalah lainnya, terkait dengan sosial terutama. Karena, begitu menjadi realitas virtual, ada semacam psikologi baru yang akan jadi masalah serius yang dikhawatirkan banyak pihak.– Suryanto, profesor kecerdasan buatan di Universitas Telkom –

Masalah psikologis yang diungkit Suryanto dapat dilihat dari bagaimana Instagram mempengaruhi kesehatan mental penggunanya.

Pada akhir tahun lalu, misalnya, The Wall Street Journal mengungkap ribuan dokumen internal – yang disebut Facebook Papers – yang berisi penelitian internal perusahaan. Salah satu dokumen yang jadi sorotan adalah riset internal Facebook yang menemukan bahwa Instagram memperburuk kesehatan mental pengguna muda akibat kecemburuan sosial.

Leave a Reply