5 Fakta Herawati Diah, Tokoh Pers Perempuan Indonesia

5 Fakta Herawati Diah, Tokoh Pers Perempuan Indonesia

Nasional

Ilustrasi jurnalis. Foto: Shutter Stock

Ladies, setiap tanggal 9 Februari, masyarakat Indonesia memperingati Hari Pers Nasional. Momen ini dirayakan bertepatan dengan tanggal berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yakni pada tahun 1946 di Surakarta. PWI juga merupakan organisasi jurnalis pertama di Indonesia.

Sosok jurnalis di masa perjuangan kemerdekaan tidak bisa dipandang remeh. Peran jurnalis di era tersebut tidak sekadar memberitakan informasi terkini, tapi juga mengobarkan semangat dan nasionalisme masyarakat lewat tulisan-tulisan kritis.

Tidak hanya laki-laki yang bisa menjadi seorang jurnalis, sejarah juga mencatat beberapa jurnalis perempuan yang dengan berani mengemukakan pemikiran kritis dan memperjuangkan kesetaraan hak kaumnya. Dalam mengemukakan hal tersebut, jurnalis perempuan di masa itu dengan tegar menghadapi berbagai risiko.

Salah satu tokoh pers perempuan di Indonesia adalah Siti Latifah Herawati Diah atau yang dikenal Herawati Diah. Perempuan kelahiran Belitung, 3 April 1917, ini merupakan istri dari BM Diah. Berikut adalah beberapa fakta menarik mengenai Herawati Diah yang kumparanWOMAN rangkum dari berbagai sumber.

1. Lahir di keluarga dokter tapi takut darah

Herawati Diah datang dari keluarga dokter. Ia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya, dokter Latip, bekerja sebagai tenaga medis perusahaan Belanda, Billiton Maatschappij. Dokter Latif merupakan Jawa totok yang besar di Kalidungu, Demak. Sementara ibu dari Herawati Diah merupakan seorang perempuan Aceh yang besar di Indramayu.

Dokter Latif berharap Herawati Diah menjadi seorang dokter dan menasihati bahwa dokter adalah profesi yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Namun, dalam autobiografinya, Herawati Diah mengatakan tidak tertarik untuk menjadi dokter karena takut akan darah.

2. Wartawati pertama lulusan Amerika Serikat

Herawati Diah adalah seorang jurnalis perempuan Indonesia pertama yang lulus dari universitas di Amerika Serikat (AS), tepatnya Barnard College of Columbia University. Herawati mengambil jurusan Sosiologi dan lulus pada 1941. Pulang ke Indonesia tak lama setelah lulus, ia bekerja sebagai wartawan lepas untuk media AS, United Press International dan menjadi penyiar radio Jepang di Indonesia, Radio Hosokyoku.

3. Herawati Diah bertemu suaminya saat menjadi penyiar radio

Herawati Diah bertemu BM Diah ketika masih sama-sama bekerja sebagai penyiar di Radio Hosyokyoku. Keduanya kemudian menikah dan BM Diah menjadi Menteri Penerangan saat Indonesia merdeka pada 1945. Herawati dan BM Diah juga dikenal sebagai penggerak harian Merdeka dan bersama-sama mendirikan The Indonesian Observer, koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia yang diterbitkan dan dibagikan pertama kali dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, tahun 1955.

4. Herawati Diah dan kegemarannya

Selain aktif sebagai pejuang pers sepanjang hidupnya, Herawati Diah juga gemar bermain bridge. Herawati Diah juga berperan dalam berbagai organisasi dan charity yang mengangkat isu perempuan sampai akhir hayatnya.

Ia juga menulis sebuah buku yang berjudul An Endless Journey: Reflection of an Indonesian Journalistpada 2005. Herawati Diah mengabadikan perjalanan hidupnya sebagai jurnalis perempuan. Menurutnya, jurnalis perempuan adalah profesi yang menggairahkan, penuh tantangan dan terkadang berbahaya. Peran jurnalis sendiri memberikan sudut pandang baru kepada pembaca dan masyarakat terkait sebuah peristiwa.

5. Herawati Diah meninggal di usia 99 tahun

Herawati Diah tutup usia pada tanggal 30 September 2016 di usia 99 tahun, di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Wartawati senior itu meninggal pada usia 99 tahun akibat pengentalan darah.

Herawati Diah dianugerahi Lifetime Achievement Award dari Persatuan Wartawan Indonesia berkat perannya dalam dunia pers Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, di samping makam suaminya.

Penulis: Adonia Bernike Anaya