KontraS Beberkan Sejumlah Kemunduran Demokrasi dalam 2 Tahun Terakhir

Nasional

JawaPos.com – Memasuki 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk menghentikan segala bentuk upaya membungkam kritik dan menjamin kebebasan sipil warga negara. Hal ini tidak lain untuk memulihkan kondisi demokrasi di Indonesia pada 2022.

“Masyarakat akan semakin takut menyampaikan kritik karena dibungkam dengan berbagai metode. Dengan demikian, Negara akan semakin sewenang-wenang dan jauh dari kritik masyarakat,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Fatia Maulidiyanti dalam keterangannya, Jumat (7/1).

Fatia mengutarakan, dari berbagai laporan menjelaskan bahwa situasi demokrasi Indonesia kian memburuk. Setidaknya terjadi 393 peristiwa berkaitan dengan pelanggaran kebebasan berekspresi selama kurun waktu dua tahun terakhir, sejak 2019.

“Adapun tindakan dominan adalah berkenaan dengan penangkapan sewenang-wenang dengan 165 kasus, diikuti oleh pembubaran paksa dengan 140 kasus. Kami juga mencatat bahwa Kepolisian masih menjadi aktor dominan dari ragam pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi ini. Selain itu, sasaran utama dari represi tersebut ialah masyarakat yang sedang mengkritik dan menyeimbangkan diskursus negara,” papar Fatia.

Fatia lantas menjelaskan, beberapa cara negara dalam menakuti-nakuti warga dalam berekspresi tercermin dari berbagai kebijakan di antaranya Surat Telegram Kapolri Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tentang Patroli Cyber Isu RUU Cipta Kerja. Fatia memandang, surat telegram yang dikeluarkan oleh Kapolri saat itu, Jenderal Idham Azis menunjukan watak represif institusi Kepolisian dalam menyikapi suara yang berbeda dengan narasi pemerintah.

Selain itu, situasi pandemi Covid-19 dijadikan sebagai dalih untuk menindak massa aksi, melarang demonstrasi, dan meretas atau melakukan serangan siber terhadap publik, khususnya berkenaan isu penolakan Omnibus Law. Selain itu, Kepolisian seharusnya berdiri di sudut yang netral, dengan mengamankan dan menjamin hak-hak berpendapat masyarakat, bukannya menjadi alat negara untuk terus membatasi ruang-ruang demokrasi.

Selanjutnya, kriminalisasi dengan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Fatia mengutarakan, ketentuan ini sebenarnya tidak dikeluarkan dalam jangka waktu 2020-2021, akan tetapi selama masa pandemi Kepolisian seringkali menggunakan delik dalam UU Kekarantinaan Kesehatan tersebut sebagai dasar hukum untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat.

“Salah satu kasus penetapan tersangka dengan menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan tercermin dalam kasus korlap demo mahasiswa di Balikpapan. Ia dianggap melanggar ketentuan pidana karantina kesehatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018,” ungkap Fatia.

Dia berpendapat, negara begitu diskriminatif dalam penggunaan pasal tersebut. Sebagai contoh, kerumunan yang ditimbulkan Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Maumere jelas melanggar protokol kesehatan. Akan tetapi hal tersebut justru diwajarkan.

Selain itu, Kepolisian begitu cepat menolak laporan terhadap kasus pelanggaran prokes yang dilakukan Presiden tersebut. Negara juga sebenarnya tidak dapat menggunakan ketentuan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, sebab tidak ada penetapan secara rinci berdasarkan UU tersebut.

“Di sisi lain, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup dasar dan makanan hewan ternak. Akan tetapi mandat dari bunyi pasal tersebut tidak dijalankan oleh Negara,” cetus Fatia.

Hal tidak mengindahkan juga terlihat dari maraknya tindakan kritik terhadap penghapusan mural. Dia mencatat setidaknya ebam mural yang berisikan kritik terhadap pemerintah dihapus oleh Kepolisian, seperti mural ‘Tuhan Aku Lapar’, ‘Jokowi Not Found’ dan ‘Dipaksa Sehat di Negara Sakit’.

Mural berisikan kritik terhadap pemerintah merupakan bentuk akumulasi kemarahan dan kekecewaan publik terhadap kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi dalam menangani Pandemi.

“Seharusnya pemerintah justru menerima masukan tersebut dengan terbuka, bukan justru merepresi ekspresi mereka yang dijamin secara konstitusional,” beber Fatia.

Selain Mural yang dihapus, lanjut Fatia, di momen yang berdekatan pada 2021, Kepolisian juga menangkap beberapa masyarakat/mahasiswa yang menyampaikan ekspresinya lewat media poster. Salah satu contoh kasusnya adalah penangkapan terhadap seorang peternak yang membentangkan poster bertuliskan ‘Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar’ saat rombongan Presiden Jokowi melintas di Blitar.

Selain itu, beberapa mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) juga ditangkap karena membentangkan poster berisikan kritik pada saat Presiden berkunjung ke kampus mereka. Dia menyebut, penangakapan pembentang poster tersebut semakin mempertegas watak represif Kepolisian khususnya terhadap pengkritik pemerintah.

“Hal tersebut juga menandakan bahwa situasi demokrasi kita terus mengalami regresivitas yang signifikan. Negara lewat aparaturnya begitu aktif menindak ekspresi dengan berbagai metode agar masyarakat bungkam dan tak berani mengkritik kinerja pemerintah,” pungkas Fatia.

Leave a Reply