Sam Kerr Ngomongnya Kayak Orang Citayam

Nasional

Pemain sepak bola wanita Australia Sam Kerr. Foto: Jeff Pachoud/AFP

“Sam Kerr ngomongnya mrepet bener kayak orang Citayam”.

Itulah kalimat yang dikatakan salah seorang teman saya yang mengikuti sesi konferensi pers pascalaga Australia vs Indonesia di Piala Asia Wanita 2022. Kerr selaku kapten The Matildas hadir di sesi itu dan teman saya bingung mendengarkan ucapan aksen Bahasa Inggris-nya yang kelewat susah dimengerti.

Perumpamaan “kayak orang Citayam” tentu saja bercanda. Maksudnya, aksen British-nya Kerr kelewat kental dan dia bingung kata dan kalimat apa yang sebenarnya diucapkannya.

“Wong Ostrali kek gitu dah. Tapi denger-denger, sih, aksen Inggris yang paling susah tuh Liverpool dan Skotlandia, sih,” jawab saya ke teman saya.

Ilustrasi orang Skotlandia. Foto: John Sibley/Reuters

Bicara soal aksen Skotlandia, saya ingat ada bek Arsenal, Kieran Tierney, yang cara bicaranya membuat orang sulit memahami. Pernah ada sebuah konten ketika Tierney bicara dalam sebuah video yang diunggah ke Instagram Arsenal.

Di situ, Alexandre Lacazette membuat komentar jahil, kurang lebih begini: “Untung ada subtitle“.

Oke, itu sebatas ingatan saya saja. Lanjut lagi soal percakapan saya dan teman saya. Pembicaraan kami lalu melebar kepada sosok John Lennon.

“Nonton di Youtube, ribet juga orang Liverpool kalau ngomong. Tapi, John Lennon kagak dah. Apa dia udah ke-Amerika-Amerika-an, ya?” ujarnya yang nyaris membuat saya tidak bisa tidur.

Daripada tidak bisa tidur, saya lantas mencari tahu. Ternyata, ada orang Jepang yang membuat penelitian tentang perubahan aksen John Lennon. Namanya Shinji Sato dari Komazawa University.

Penelitiannya sungguh mendalam, saya sampai bingung sendiri saat membacanya. Jadi pokoknya, ia membandingkan aksen-aksen Lennon dari lagu-lagu The Beatles, lagu solonya, dan ucapannya dalam sesi-sesi wawancara.

“Berkenaan dengan bicara, yaitu wawancara dalam hal ini, setidaknya untuk bahan yang dianalisis di sini, John Lennon terutama menggunakan aksen asalnya pada 1960-an ketika dia tinggal di Inggris, dan terutama setelah dia pindah ke Amerika Serikat,” tulis Sato.

“Namun, di studio rekaman lagu, tidak ada pola yang jelas terlihat dan hasilnya lebih beragam, dengan tingkat yang lebih tinggi, yaitu daripada dalam bicara, dari produksi sepanjang karier musiknya.”

John Lennon dan Yoko Ono, Keystone Features Foto: Getty Images

Kemudian, Sato menjelaskan bahwa kemungkinan ada penyesuaian yang dilakukan Lennon pada 1960-an ketika dia tinggal di Inggris dibanding saat di Amerika Serikat. Saat belum hijrah, ia mungkin banyak berhubungan dengan orang beraksen Inggris utara, misalnya anggota The Beatles yang juga berasal dari Liverpool.

Lalu, ketika dia pindah ke Amerika Serikat, Lennon mungkin jarang bertemu dengan orang berkaksen Inggris utara. Situasi ini boleh jadi memengaruhi aksen bicaranya juga, adaptasi.

Opini Sato sungguh berlandaskan penelitian ilmiah. Namun, saya memiliki opini juga, yang tentunya nyeleneh dan cenderung asal-asalan. Di sisi lain, mungkin saja ada benarnya.

Seiring berjalannya waktu, aksen native orang di suatu negara bisa berubah menjadi lebih rumit dipahami. Saya belum pernah ke Inggris, tetapi dulu mungkin orang Inggris ngomongnya lebih tertata dan belum banyak bahasa slang daripada di era-era berikutnya hingga hari ini.

Ilustrasi Paspor Inggris. Foto: Shutterstock

Contohnya adalah Noel dan Liam Gallagher. Silakan coba tonton video wawancara mereka di mana saja. Kalau buat saya, gaya bicara pentolan Oasis itu seperti orang kumur-kumur.

Kalau melihat transkripnya, banyak pula kata slang atau kata yang pelafalannya diubah. Misalnya, kata “shit (kotoran)” yang dibaca “syit”, berubah jadi “shite” yang dibaca “syait”.

Terus saya mikir, Bahasa Indonesia pun sama. Zaman dahulu kan orang ngomong tertata rapi, seperti “Ayo, kita pergi”. Kini, dalam sehari-hari, kalimatnya berubah menjadi “Yuk, pegi”.

Contoh lain: “Wah, mie ayam ini rasanya enak sekali”. Kalimat itu bisa saja kalau sekarang menjadi “Beuh, ni mie ayam kane parah”.

Ilustrasi mie ayam dan bakso. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Opini lain dari saya adalah tentang ‘ketularan’, sih. Barangkali, John Lennon ‘ketularan’ aksen non-British entah dari siapa.

Misalnya, kayak kita saja. Mungkin pernah ada suatu waktu, kita menonton Sherlock dan setelahnya ada rasa keinginan bicara Bahasa Inggris dengan aksen British juga.

Atau mungkin, pernah ada suatu waktu, kita menonton pentas komedi Russell Peters. Setelahnya, ada rasa ingin mencoba berbahasa Inggris dengan aksen India.

Ya, tentunya untuk menjawab segala pertanyaan yang mengambang, harus ada penelitian lebih mendalam. Kepada para akademisi, waktu dan tempat saya persilakan. (22/365)

Leave a Reply