Tentang Menua dan Pensiun

Nasional

Ketika berumur 30 tahunan, saya selalu tertawa usai mendengar kata (konsep) pensiun. Muda, bergairah, banyak sekali isi kepala yang ingin ditumpahkan, plus terlalu banyak yang ingin dilakukan. Saya pikir akan selamanya seperti itu dan pensiun tak akan pernah terjadi pada saya.

Tetapi semakin berumur, kata pensiun semakin mengganggu. Tiap hari selalu saja dia datang mengetuk pintu seperti tamu yang tak diharapkan. Ada yang berkabar teman satu angkatan zaman kuliah mengambil pensiun dini. Ada rekan kerja yang menanyakan umur dan kemudian bercanda, “Wah, sebentar lagi sudah bisa pensiun, Mas.” Badan gampang ngilu untuk alasan yang tidak jelas. Tidur tidak menghadirkan kesegaran tetapi malah seperti menuntut untuk tidur lebih lama lagi. Beberapa perjalanan impian yang ingin saya lakukan tak lagi menarik, semakin samar-samar menuju sesungguhnya mimpi. Keinginan menulis buku dan novel—yang selalu terpinggirkan karena kesibukan kerja—semakin terasa tidak relevan dan khawatir hanya menambah polusi buku buruk di dunia. Kemampuan membaca dan mencerna semakin lamban dan tumpul, sementara semakin banyak buku menumpuk terbengkalai entah kapan hendak dibaca.

Ada suatu mekanisme tentang menurunnya gairah dan pikiran yang tidak saya mengerti terjadi dalam tubuh ini. Seperti nyala api dalam tubuh pelan-pelan meredup seiring bertambahnya usia. Tanpa saya pahami. Tanpa saya mampu menahannya.

Leave a Reply